Golput, Bukan Gue

Jangan-GOLPUT

Ayo kita semua sama-sama
Memilih lihat visi-misinya
Agar rakyat Bandar Lampung
Bisa sejahtera

Pastikanlah pilihanmu
Karena Golput itu bukan pilihan
Satu suara kita tuk perubahan

(Jingle Pemilukada Golput Bukan Pilihan)

TIDAK terasa setahun berlalu sejak pertama kali saya menggunakan hak pilih pada pesta demokrasi terbesar di negeri ini. Dengan semangat menggebu, saya bersama teman-teman yang berasal dari luar Jatinangor, mengurus surat pindah memilih atau formulir A5 untuk turut serta memilih calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2014. Saat itu saya masih bersatus sebagai mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad).

Dari release yang dikeluarkan oleh hubungan eksternal (hubeks) BEM, diketahui ada 7.000-an mahasiswa yang memiliki hak mengajukan surat pindah memilih, tapi 300-an di antaranya saja yang menggunakan hak tersebut. Jika dihitung kasar, berarti hanya 0.42% yang terlibat dalam Pilpres 2014 kemarin. Angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan.

Keengganan mahasiswa untuk memilih sangat disayangkan, mengingat mahasiswa seharusnya menjadi contoh bagi pemuda lain, tetapi justru malah tidak berpartisipasi memilih alias masuk golongan putuh atau biasa disingkat golput. Sebagai calon sarjana, mahasiswa jangan sampai tergiring opini untuk turut serta bahkan mengampanyekan golput karena hal itu tidak relevan dilakukan pada masa sekarang.

Sejarah Golput

Jika kita menilik sejarah, merebaknya golput di Indonesia disebabkan oleh rezim Orde Baru yang selalu memenangkan pemilu. Awalnya, pencetus istilah “golput” adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu jarang ada yang berani tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.

Pada masa itu, semua pegawai negeri sipil (PNS) dan aparatur “dipaksa” untuk memilih partai penguasa. Secara tidak langsung, mereka yang dipaksa akan memaksa orang-orang yang ada di sekitar mereka karena adanya ancaman terhadap karier mereka. Misalnya, guru kepada murid, lurah kepada warga, dan orang tua kepada anak. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak lagi percaya pada pemilu dan memilih golput.

Golput menjadi sikap yang wajar pada masanya, mengingat memilih atau tidak memilih hasilnya partai penguasalah yang memenangkan pemilu. Namun, pada era Reformasi, sistem monoloyalitas itu tidak berlaku. Karena, setiap warga negara bebas menyuarakan pilihannya. Hal ini juga terkandung di dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dinyatakan setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.

Dengan kebebabasan tersebut, sudah sepatutnya kita turut serta dalam menentukan pemimpin daerah. Karena, pemimpin daerah memilki peranan vital dalam sebuah daerah. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kemaslahatan warga tidak terlepas dari peran kepala daerah. Meningkatnya kesejahteraan warga, meratanya pendidikan, sampai pembangunan jalan di kampung-kampung tidak dapat terlepas dari peran kepala daerah.

Momentum pemilukada serentak yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) harus didukung karena memberi kesempatan bagi kita, utamanya anak muda, ikut serta menentukan pemimpin daerah. Terlepas dari tingkat partisipasi pemuda pada Pemilu 2014 lalu ataupun tahun-tahun sebelumnya cenderung minim, namun pemuda saat ini harus sadar kalau mereka tidak bisa mengelak dari pemilu. Karena, sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia pasti selalu menggunakan sistem pemilihan umum (pemilu).

Pemilih Potensial

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan jumlah pemilih pemula Pemilu 2014 yang berusia 17—20 tahun sekitar 14 juta orang. Sedangkan yang berusia 20—30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa. Artinya, dari 187 juta jiwa DPT nasional; 30% adalah pemuda. Angka yang sangat besar ini tentu menjadi sasaran bagi para calon kepala daerah meraup suara.

Dengan angka yang besar ini pula, suara-suara yang dimiliki pemuda rawan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk memerangi penyalahgunaan surat suara, penting bagi kita untuk hadir sendiri ke bilik pemungutan suara. Selain turut berperan aktif dalam mennyosialisasikan bahwa golput bukanlah pilihan. Daripada sibuk apatis atau golput, lebih baik kita pelajari calon-calon kepala daerah dan ikut serta memilih.

Ibarat air di dalam teko, jika kita memasukkan air yang bersih, air yang dikeluarkan akan bersih. Pun begitu bila kita memasukkan air kotor, air kotor itu pulalah yang akan keluar dari teko tersebut. Analogi ini sangat cocok bila kita gunakan dalam pemilu. Bersih atau kotornya pemimpin daerah, ditentukan oleh kita yang mencoblos di kotak suara. Golput bukanlah sikap tepat pemuda masa kini. Golput, bukan gue!

*Oleh Rizki Idsam Matura, Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, IAIN Raden Intan Lampung. Penulis adalah juara kedua lomba penulisan opini yang diselenggarakan KPU Bandar Lampung bekerjasama dengan Lampung Post untuk kategori mahasiswa.

Sumber : Lampost 

About admin

Check Also

Dr. Efa Rodiah Nur, MH: Workshop Fakultas Syariah Lahirkan Dokumen Kurikulum OBE-MBKM

Bandar Lampung: Workshop Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung akan melahirkan dokumen kurikulum berbasis …

One comment

  1. Adi Pradabashu

    wah menarik ini, apalagi sekarang jamannya gadget, info mudah didapat. ayo anak muda, jangan golput! mari sukseskan pilkada lampung