Wakil Dekan III FSH: “MPR Harus Benar-benar Mencerminkan Aspirasi Rakyat”

dk-12

Bandar Lampung: Diskusi Kebangsaan yang digelar di Gedung Serba Guna (GSG) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung pada Rabu (21/9/16) lalu menuai berbagai pendapat dan pandangan dari sivitas akademika IAIN Raden Intan Lampung mengenai perlu adanya GBHN atau tidak.

Henry Iwansyah, M.A. dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung berpendapat bahwa persoalan apakah apakah kita harus menghidupkan kembali gariss-garis besar haluan negara (GBHN)  atau kita tetap lanjutkan seperti yang ada sekarang ini dengan RPJM. “Bagi saya pribadi dan mungkin juga masyarakat awam pada umumnya, itu tidak ada masalah. Mau dia GBHN, atau RPJM tidaklah menjadi soal. Tapi yang jelas suatu pemerintahan harus ada suatu tolak ukur, keberhasilan maupun kekurangannya. Tolak ukurnya itu adalah garis-garis besar haluan negara yang menentukan kesana. Kalau RPJM, menurut saya itu hanya diciptakan oleh Lembaga Eksekutif saja,” ujar Henry Iwansyah, M.A.

“Dan itu rawan terjadi perubahan setiap kali pergantian pemimpin pemerintahan. oleh karenanya, saya sependapat itu dihidupkan kembali. Tetapi, satu yang harus kita jaga, ketika ini hidup kembali, hendaklah wakil-wakil rakyat  di lembaga MPR betul-betul mencerminkan suara rakyat. karena hilangnya fungsi-fungsi dan beberapa tugas dari MPR itu kan karena Reformasi. Jadi tolonglah yang namanya oligarki di negeri ini segera dihilangkan cobalah untuk kembali kepada rakyat, mengabdi untuk rakyat (negara). Yang penting bagi rakyat itu bagaimana harga barang-barang untuk kebutuhan hidup murah, keamanan terjamin dan lain sebagainya. GBHN atau apa itu namanya tidaklah menjadi soal. Saya mendukung perlu adanya tolak ukur seperti GBHN yang perlu dilakukan oleh MPR. Selama lembaga ini mencerminkan aspirasi rakyat, bukan mencerminkan aspirasi partai atau golongan,” Henry Iwansyah papar M.A..

Sementara itu, Wakil Dekan III Fakultas Syari’ah dan Hukum, Drs. Chaidir Nasution, M.H. pun turut memberikan masukan ”Terkait dengan apakah perlu adanya GBHN atau tidak, saya secara pribadi apapun namanya GBHN itu tetep perlu. Saya ilustrasikan secara sederhana saja, sebuah rumah tangga kalau tidak punya haluan, mau kemana rumah tangga itu? kacau, pak,” kata beliau kepada MPR RI.

“Apalagi sebuah negara semacam ini. Jadi kita tidak usah berdebat nama, tapi substansi dari GBHN itu saya kira  perlu.  GBHN zaman orde baru sudah tersusun secara sedemikian rupa baik, tapi kenapa kok hasilnya sebelum reformasi tidak mencerminkan tahapan-tahapan itu?,” lanjut wakil dekan bidang kemahasiswaan ini.

“Persoalannya adalah menurut saya konsistensi kita, saya ingat persis ketika masih kuliah, pembangunan dilaksanakan dengan bersandarkan kepada sumber daya alam, tapi dalam praktik tidak pak. Saya  contohkan begini, Indonesia kata orang banyak adalah negara yang subur. Tongkat kayu jadi tanaman. Kita punya perguruan tinggi negeri yang konsen pada pertanian, IPB. Tetapi apa yang terjadi? Pisang kita impor, kacang kita impor, jagung kita impor, garam kta impor, ini inkonsistensi namanya, kembali lagi kepada faktor manusianya, persoalan krisis ‘trust’,  kepercayaan. Ini yang sangat mendasar kalau menurut saya,” papar Drs. Chaidir Nasution, M.H.

“Kepercayaan itu ternodai kembali ketika elit bangsa berbicara secara idealis begitu bagus, tapi dalam prakteknya mencoreng benar. jadi bagaiamana masyarakat luas ini mau percaya kepada elit-elit bangsa?.  Hanya bicaranya bagus tetapi dalam praktiknya tidak ada, ini yang  kita sayangkan. Untuk membangun sebuah kepercayaan itu sulit sekali, pak. Berlakulah falsafah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itulah bentuk yang bisa dilakukan oleh masyarakat, karena elit bangsanya semacam itu,” tambahnya

“Saya nyambung kata pak Hendi tadi, kami sebagai pengamat, kecewa pak MPR, melihat wakil-wakil kami orangnya pinter tapi kok orientasinya bukan bangsa?  Indonesia sebagai bagian dari dunia, di mana masyarakat negara lain sudah maju, kita masih berkecimpung dengan hal-hal yang tidak prinsip. Dialog dan lain sebagainya bukan untuk kepentingan pasar, tapi untuk kepentingan partai sangat disedihkan. Jadi intinya pak, membangun trust itu harus dimulai dari pimpinan kita, syahid tepi mengatakan ‘ikan busuk dari kepalanya, bukan dari ekornya’ jadi kami berharap dari elit-elit bangsa ini, persyaratan negara bisa maju adalah kepercayaan, dan kami berharap kepada elit-elit bangsa ini untuk menunjukkan benar-benar berjuang berjibaku untuk kepentingan bangsa bukan untuk kepentingan partai atau golongan,” pungkas Drs. Chaidir Nasution, M.H. (Dewi Yulianti)

About admin

Check Also

Dr. Efa Rodiah Nur, MH: Workshop Fakultas Syariah Lahirkan Dokumen Kurikulum OBE-MBKM

Bandar Lampung: Workshop Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung akan melahirkan dokumen kurikulum berbasis …