Peranan Hakim dalam Mewujudkan Keadilan Substantif Perspektif Filsafat Hukum Islam

Yonni

Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa hukum kehidupan manusia akan liar. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajiban (Mertokusumo Sudikno, 2007: 3)

Persoalan keadilan sejauh ini masih menjadi topik yang menarik  untuk didiskusikan dalam ranah teori maupun parktis. Hal ini mengingat dalam ranah teori, interpretasi terhadap keadilan sampai saat ini masih terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan dan belum sampai pada konsesus bulat parameter keadilan yang sesungguhnya.

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkritisasi hukum.

Sedangkan hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sebagai corong undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.

Dalam ajaran Islam juga diperintahkan agar kita bertindak adil dalam menyelesaikan suatu perkara. Perintah itu antara lain disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa (4): 58, disebutkan bahwa :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. al-Nisa: 58)

Pada ayat tersebut dapat dipahami betapa pentingnya berbuat adil, dalam konteks ini adalah hakim yang menjadi sorotan. Ayat ini dapat dianalogikan, seharusnya hakim juga dapat berbuat adil dalam memutus suatu perkara dengan penemuan hukum apabila diperlukan sesuai dengan koridor undang-undang yang  berlaku.

Salah satu hal yang mendasari pemikiran maqashid al-syari’ah sebagai instrumen menggali nilai keadilan hukum adalah tujuan ditetapkannya hukum Islam. Maqashid al-syari’ah  penting untuk dipahami, karena dengannya wawasan kita tentang hukum Islam menjadi komprehensif. Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah SWT mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Maqashid al-syari’ah adalah tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat (Yusuf al-Qaradhawi, 2007: 18).

Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa terkecuali. Kasus nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1 bulan 15 hari penjara adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan.

Dalam kasus ini memang putusan yang diberikan oleh hakim telah memenuhi unsur  kepastian hukum tetapi belum memenuhi unsur keadilan dan kemanfaatan. Selain hal tersebut hakim juga dilarang untuk menolak perkara. Namun bila ditinjau dari awal proses penyidikan tidak memenuhi rasa keadilan kerena nenek Minah bukanlah satu-satunya orang yang mengambil kakao dari kebun tersebut, nenek Minah mengatakan bahwa sebelum kasus nenek Minah diangkat ke jalur litigasi, memang sudah banyak warga sekitar yang mengambil kakao di kebun tersebut.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, dalam penanganan kasus hukum, semestinya hakim tidak hanya melihat dari sisi hukum formalnya saja, tetapi juga harus melihat keadilan substantifnya. Oleh karena itu, hakim memegang peranan sentral dalam membuat putusan tersebut, hakim diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepengadilan. Putusan hakim merupakan hasil proses peradilan di pengadilan, sedangkan fakta di lapangan saat ini masih banyak proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Putusan hakim di pengadilan idealnya harus mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, di mana ketiganya harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu menerapkan ketiganya secara berimbang dan proporsional. Dengan kata lain, pemaknaan keadilan substantif, berarti hakim bisa mengabaikan bunyi undang-undang jika undang-undang tidak memberikan rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural undang-undang yang memberikan kepastian hukum. Melalui putusannya diharapkan mampu menerapkan hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, serta harus mampu juga berperan mendamaikan pihak yang berperkara, yang dalam melakukan peran-peran tersebut tetap berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Kedua, keadilan dalam filsafat hukum Islam menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Peranan hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dalam mewujudkan  keadilan substantif menurut tinjauan filsafat hukum Islam adalah melalui putusannya mampu menerapkan konsep keadilan yang dirumuskan dalam maqashid al-syari’ah oleh al-Syatibi, bahwasanya hukum yang berlandaskan keadilan ditentukan oleh mashlahat yang diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) memelihara kepentingan manusia yang bersifat mendasar (dharuriyyat) yang tercakup dalam al-kulliyah al-khamsah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan atau kehormatan, dan memelihara harta,  (2) sekunder (hajiyyat), dan (3) suplementer (tahsiniyyat). Hal tersebut menandakan bahwa Islam sangat peduli dengan masalah keadilan.

 

Daftar Pustaka

Mertokusumo Sudikno, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007).

Departemen  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT Kumudasmoro Grafindo,1994).

Yusuf Qaradhawi, Fiqh Maqasid Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007).

Penulis Yoni Nasution, SHI
Editor Abdul Qodir Zaelani

About admin

Check Also

Dr. Efa Rodiah Nur, MH: Workshop Fakultas Syariah Lahirkan Dokumen Kurikulum OBE-MBKM

Bandar Lampung: Workshop Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung akan melahirkan dokumen kurikulum berbasis …