Lalu, Bagaimana
Oleh Ela Novita Sari
Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
Wahai sang padi yang mengabdi,
Dengan apa lagi akan termelodi?
Atas adanya engkau di bumi?
Mata yang begitu jeli, mata yang begitu teliti
Mata yang terus menusuk helaian kitab Illahi
Wahai sang pelipur padi
Harus bagaimana lagi aku akan bernyanyi?
Tangan yang melatah sesederhana ini
Bahasa yang berkata sesingkat ini
Akankah terlugaskan tentang binar jiwamu disetiap fajar pagi?
Akankah terlugaskan tentang intan hatimu disetiap bulan malam hari?
Pelangi yang seperti apa, yang mampu tersuguhkan?
Mentari yang bagaimana, yang dapat ku hidangkan?
Pagi yang bagaimana, yang dapat ku gambarkan?
Embun yang bagaimana, yang dapat ku berikan?
Tentang pelangi, tentang mentari, selalulah jadi alasanku untuk membungai hati.
Tentang pagi, juga tentang embun, selalu pula jadi alasanku untuk tetap berdiri.
Dengan segala pernak-pernik mereka, yang memutiarai hati kecil ini.
Lalu,
bagaimana jika kau lebih indah dari pelangi?
Bagaimana jika kau lebih indah dari mentari?
Bagaimana jika kau lebih indah dari pagi?
Bagaimana jika embun kalah menyegarkan, dari kibarmu di tanah ini?
Wahai sang lentera, kau tentu dapat menjawabnya dengan mata hati.
Wahai sang pelita, kau tentu dapat menjawabnya dengan bisikan nurani.
Karena kau, adalah inspirasi bibit padi.
Wahai sang padi, yang senantiasa mengabdi.
Wahai sang lentera, yang terus bercahaya.
Wahai sang pelita, yang terus bersuara.
Bersama rembulan yang memandikan wajahku
Ku sebut indahmu dengan ngangahan tangan yang bercucuran
Membahasakan tentang kibaran kau di alam raya dan jannah-Nya
Menjadi penyemogaanku selalu
Dan, selamanya.