WhatsApp Image 2019-05-30 at 20.24.24

“Kesombongan dalam Ibadah”

Oleh Dr. Alamsyah, M.Ag
(Kajian Kitab Mau’izhatul Mukminin min Ihya’ Ulumuddin)

Dalam beragama pun, ibadah misalnya, banyak orang jatuh dalam kesombongan, bukan hanya karena harta, kekuasaan atau kecerdasan. Mengapa ?, karena hakikat sombong, sebagaimana ditegaskan imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, adalah menganggap remeh orang lain dan menilai dirinya lebih mulia. Padahal pada hakikatnya, segala kebesaran, keagungan dan kemuliaan hanya pantas dimiliki sang Khalik (pencipta), yaitu Allah swt, bukan pada makhluk manusia.

Seseorang yang sombong akan menolak nilai kebaikan atau fakta kebenaran yang disodorkan kepadanya, padahal dia tahu itu adalah benar. Dirinya merasa tidak pantas menerima masukan, tidak mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, dia juga tidak mau mencintai manusia padahal dirinya ingin dicintai, gampang menyakiti sesama, tidak bisa menahan emosi, kebencian, selalu berdusta dan menyebarkan kedustaan (hoaks), serta tidak bisa memberi nasehat dengan santun apalagi menerima nasehat.

Kesimpulannya, pada diri orang yang sombong terkumpul segala sifat yang buruk dan perbuatan yang tercela. Ia akan terus melakukan segala keburukan itu karena hanya dengan itu ia dapat menunjukkan kebesaran dan kekuasaannya. Beginilah sifat orang kufur dan munafik. Oleh karena sombong menyebabkan timbulnya kejahatan dan keburukan, maka Nabi Muhammad saw menegaskan, “Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada bagian terkecil dari sombong” (HR. Muslim nomor 2749).

Dalam melakukan ibadah dan amal saleh pun seseorang bisa terjerumus dalam kesombongan. Orang-orang takabbur atau sombong seperti ini selalu memandang orang lain sebagai makhluk berdosa, rusak dan celaka, dan hanya dirinya yang selamat dan pantas masuk surga. Seorang yang sombong dalam beragama selalu menilai salah ibadah orang lain dan hanya ibadahnya yang benar, sering menganggap puasa atau sedekah orang lain rusak dan hanya cara dirinya yang bersih.

Ada pula orang bodoh yang ahli ibadah (‘abid), sibuknya hanya mengawasi dan menilai kekurangan salat dan doa orang lain tapi dia sendiri lalai menjaga khusyuk dan ikhlas dirinya. Kadang-kadang ada pula seorang ‘abid yang karena ingin menampilkan dirinya suci banyak ibadah dan orang lain kotor kurang wudhu’ lalu menandai jidatnya dengan kehitaman. Demikian juga karena ingin dinilai lebih saleh dan taat dibandingkan orang lain maka ada yang tampil bergamis, bersorban, dan berjenggot.

Prilaku dengan motif seperti ini adalah kekeliruan sekaligus kebodohan dalam beragama, sehingga oleh imam asy Sya’rani digolongkan sebagai orang-orang tertipu (al-mughtarrin) dalam ibadahnya. Mereka yang berprilaku dengan tujuan demikian sesungguhnya terpedaya oleh jebakan setan. Lahiriahnya beribadah ikhlas karena Allah tapi hatinya ingin pamer (riya’), berharap pujian (‘ujub) dan menganggap orang lain serba kurang. Lahiriah keinginannya adalah meraih ridha Allah dan pahala, namun hakikatnya mendapat murka dan dosa.

Mengapa tampilan lahiriah tidak bisa dijadikan ukuran kesalehan atau ketakwaan seseorang ?, karena takwa sebenarnya ada dalam hati nurani, bukan fisik jasmani. Maka Rasulullah saw menegaskan tiga kali lewat sabdanya: “takwa itu di sini” sambil menunjuk ke dadanya. Allah swt tidak menilai kebaikan seseorang dari raut wajahnya, tidak pula dari tampilan bodi atau warna kulitnya, tetapi dari isi hatinya. Penampilan lahiriah tetap penting dan harus dijaga, seperti kebersihan, kerapian dan keindahan, agar hidup kita sehat dan nyaman. Namun harus ditanamkan keyakinan bahwa kesalehan hakiki dan ketakwaan sejati yang dipandang Allah swt ada dalam jiwa manusia.

Nabi Muhammad saw adalah makhluk paling terhormat di sisi Allah swt, namun beliau selalu memperlihatkan sikap rendah hati di hadapan manusia, bukan berprilaku angkuh dengan kemuliaan atau kekuasaannya.
Firman Allah “dan rendahkanlah sayapmu (hatimu) kepada orang-orang yang mengikutimu …” (QS. Asy Syu’ara’ 215).
Dengan kerendahan hati atau tawadhu’, serta meninggalkan kesombongan atau takabbur, maka beliau menjadi manusia paling mulia, takwa, sukses, paling berlapang dada, bertenggang rasa, toleran, penyayang, sabar, teguh, selalu tersenyum dan paling bahagia.

Moga kita selalu bisa mengikuti jejak akhlak beliau agar dapat menciptakan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu A’lam