oPINI Mahasiswa

Indonesia tercatat sebagai negara ke-4 dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Menurut sensus penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 255,4 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,49% per tahun.

Semenjak tahun 2012 Indonesia telah memasuki masa awal bonus demografi karena kuantitas penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai angka 49,6%. Bonus demografi sendiri adalah perubahan proporsi penduduk dan menurunnya beban ketergantungan (rasio ketergantungan) terhadap penduduk non produktif. Dengan kata lain, bonus demografi adalah bonus yang dinikmati oleh suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk yang produktif (usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.

Berbicara mengenai bonus demografi, tentu akan menimbulkan dilema; membawa keuntungan atau justru merugikan bagi Indonesia. Bonus demografi dapat memberikan peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, jika tanpa persiapan yang matang, bonus demografi bisa menjadi beban berat bagi pemerintah dan bisa mempertajam peningkatan angka pengangguran.

Problematika Bonus Demografi

Akibat dari bonus demografi ini, ada empat masalah pokok yang bisa menentukan keuntungan atau kerugian bagi Indonesia, yaitu: kualitas sumber daya manusia, kesehatan masyarakat, ketersediaan lapangan kerja, dan kebijakan pemerintah.

Kualitas sumber daya manusia erat kaitannya dengan pendidikan. Data BPS menunjukkan bahwa pada bulan Agustus 2014 pekerja dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar dan bahkan tidak lulus Sekolah Dasar mencapai 47,70%, sedangkan pendidikan Sarjana sebesar 7,20%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia tergolong rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini mengakibatkan sulitnya masyarakat menerima hal-hal baru terutama di bidang teknologi yang semakin lama semakin canggih. Karena hal ini pula, banyak tenaga ahli yang didatangkan dari luar negeri untuk dipekerjakan di Indonesia. Pada akhirnya, lapangan kerja bagi kaum pribumi semakin sempit.

Dalam masalah ini, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk memajukan pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan pemerintah untuk wajib belajar 12 tahun harus segera direalisasikan. Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan pun harus dilaksanakan. Pemerataan akses pendidikan terutama di pelosok negeri harus menjadi perhatian. Sebab, pendidikan dan kecerdasan masyarakat merupakan investasi jangka panjang suatu bangsa.

Namun realitasnya, justru pada usia produktif banyak pecandu narkoba didominasi oleh para pemuda yang dengan ini berarti mereka menyia-nyiakan masa produktifnya. Jelas sangat merugikan kesehatan jiwa dan raga, sebab kesehatan jiwa dan raga, penting untuk mengoptimalkan produktifitas masyarakat pada usia produktifnya.

Bonus demografi, akan terealisasikan jika terdapat lapangan pekerjaan yang luas. Sayangnya, di Indonesia ketersediaan lapangan pekerjaan masih minim dan masyarakat cenderung untuk mencari pekerjaan daripada menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya over supply atau pasokan tenaga kerja yang banyak dan tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada.

Mengatasi kurangnya lapangan pekerjaan, Indonesia bisa belajar dari negara-negara maju seperti Jepang yang mempunyai sistem ketenagakerjaan yang baik. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) bekerja sama dengan Internatioal Manpower Development of Medium and Small Enterprisses (IMM) telah melaksanakan program pemagangan tenaga kerja ke Jepang.

Sebagaimana mengutip Harian Kompas yang terbit pada bulan Maret 2015, bahwa Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan program pemagangan ke Jepang menjadi salah satu solusi alternatif dalam mengatasi masalah pengangguran. Program pemagangan juga bisa menjadi titik awal untuk membuka lapangan kerja baru melalui wirausaha mandiri.

Dalam program ini, tenaga kerja yang disalurkan dilatih untuk menyesuaikan diri dalam suasana kerja di Jepang. Selain mereka bekerja untuk mendapatkan upah, mereka juga mendapatkan pengalaman dan pembelajaran dari program magang, yang nantinya bisa mereka terapkan di tanah air. Setelah lulus program pemagangan, pemerintah memberikan modal usaha kepada para tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja baru. Program ini perlu didukung dan disosialisasikan kepada masyarakat karena sangat berpotensi untuk meningkatkan kualitas dan pengalaman tenaga kerja, juga membuka peluang untuk menciptakan lapangan kerja mandiri.

Peran Pemeritah

Kebijakan pemerintah tentu berperan penting dalam masalah bonus demografi ini. Pemerintah sebaiknya mengurangi dan meninjau ulang tentang pemberian izin kepada investor asing yang akan mendirikan industri manufaktur padat karya seperti industri tekstil dan sepatu, karena industri seperti ini sering melakukan relokasi, yaitu pemindahan lokasi industri ke negara lain yang menawarkan upah buruh lebih kecil, sumber daya manusia yang banyak, dan peraturan pemerintah yang longgar.

Pemerintah sejatinya memperketat aturan mengenai pemberian izin kepada investor asing agar kesejahteraan buruh lebih terjamin, dan dapat meminimalisasi terjadinya PHK. Penciptaan perangkat hukum yang menjamin tumbuh dan berkembangnya usaha atau investasi pun dapat menjadi solusi untuk melindungi dan mempertahankan industri-industri kecil yang baru tumbuh.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangatlah penting untuk menyadarkan masyarakat akan tugas dan tanggung jawabnya dalam masalah bonus demografi. Karenanya, berbagai macam penyuluhan dan pembinaan tentang hal ini sangatlah diperlukan bagi seluruh masyarakat Indonesia, baik di kalangan anak sekolah, perguruan tinggi, maupun masyarakat umum. Sehingga bonus demografi, bisa memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, bukan justru menjadi dilema yang merugikan bangsa sendiri. Semoga.

 

Penulis : Nur Fatmawati Anwar (Mahasiswa FSH/Muamalah 2014)
Editor : Abdul Qodir Zaelani