Islam Nusantara

islam-nusantara

Islam sebagai agama wahyu (agama samawi) yang mempunyai visi “Rahmatan li al-‘alamin”, mempunyai tingkat apresiasi yang tinggi terhadap tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Islam sebagai agama penutup yang menghantarkan manusia hingga akhir zaman, dengan segala perkembangan kemajuan dan dinamika peradaban, termasuk budaya dan tradisi masyarakat lokal maupun nasional disetiap negara sepanjang waktu.

Istilah Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa pada pertengahan abad ke-12 hingga abad ke-16 untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut oleh kerajaan Majapahit. Setelah sempat terlupakan, istilah Nusantara kembali dihidupkan oleh seorang tokoh pahlawan pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara pada awal abad ke-20 sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud.  Pada tahun 1920-an Ki Hajar Dewantara memperkenalkan nama Nusantara untuk menyebut wilayah Hindia Belanda sebagai salah satu alternatif karena istilah tersebut tidak memiliki unsur bahasa asing yaitu “India”.

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat telah mempercayai animisme dan dinamisme atau disebut dengan zaman pra sejarah. Peralihan pra sejarah menjadi zaman sejarah terjadi pada saat agama Hindu masuk ke Indonesia dari India. Agama Hindu adalah agama yang pertama kali masuk ke Indonesia.Pada awal abad ke-4 Masehi telah berkembang agama Hindu yang dibawa oleh pedagang asing dan melakukan aktivitas perdagangan di Indonesia yang dibuktikan dengan adanya kerajaan Kutai dan Tarumanegara yang bercorak Hindu. Disisi lain karena indonesia merupakan negara strategis untuk aktivitas perdagangan selain pedagang dari India juga masuk pedagang dari Cina dan membawa agama Budha. Berdasarkan penemuan sejarah pertama kali, agama Budha masuk pada abad ke-4 Masehi dengan ditemukannya prasasti dan ruphang Budha di Kedah, Sulawesi.

Setelah itu kedatangan pedagang asing dari Gujarat, India yang masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi membawa dan menyebarkan agama Islam. Namun teori itu dibantah oleh teori Mekkah dan Persia yang mengatakan bahwa Islam masuk di Indonesia dibawa langsung oleh pedagang dari Timur Tengah pada abad ke 7 Masehi. Setelah mereka menetap dan membuat perkampungan, mereka mulai membangun fasilitas-fasilitas pendidikan seperti madrasah dan pesantren. Para wali atau ulama-ulama yang menyebarkan Islam sangat menghormati adat dan budaya masyarakat Indonesia saat itu. Salah satunya dengan menggunakan wayang dalam mendakwahkan Islam.

Islam Nusantara bukanlah Islam yang normatif, akan tetapi Islam Nusantara adalah Islam empirik yang dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia. Islam Nusantara yang pertama kali dibangun oleh Walisongo didaerah Jawa memang menjadi perhatian khusus mengingat konsep ini lebih populer di pulau Jawa, dimana penduduk Muslimnya lebih dari setegah populasi penduduk Islam di Indonesia pada sensus penduduk tahun 2010 yaitu jumlah penduduk Islam di pulau Jawa sebasar 130.651.037 jiwa dari 207.176.162 jiwa penduduk Islam di Indonesia, sedangkan jumlah pengikut Nahdlatul Ulama sebesar 143 juta jiwa diberbagai daerah atau 75% dari jumlah penduduk Islam di Nusantara ini.

Islam Nusantara yang dibangun dengan penuh kelembutan dan keindahan ini masih menjadi kontroversi di Indonesia.Hal ini menimbulkan perdebatan dikalangan umat Islam. Sebagian kalangan mengatakan bahwa Islam adalah Islam, hanya satu Islam yang dibawa oleh Rasulullah tidak ada Islam Nusantara, Islam Malaysia, dan sebagainya.  Kiai Said dalam pidatonya menjelaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah sebuah ajaran, atau madzhab akan tetapi hanya penyatuan antara budaya yang tidak menyimpang dari syariat Islam. Jadi Islam Nusantara sama sekali tidak menyalahi Alquran dan hadis.

Karakter Islam di Indonesia berbeda dengan karakter Islam di negara lain, misal jika di Malaysia Islam menjadi agama resmi negara.Tetapi di Indonesia disebut Negara toleran dimana meskipun 88,2% masyarakatnya adalah Muslim, Islam tidak menjadi agama negara. Bahkan dalam sumber hukum negara Indonesia yaitu Pancasila pada sila pertama menggunakan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah diganti yang sebelumnya tertera dalam piagam Jakarta yaitu “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Hatta (Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama) dengan pertimbangan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia Muslim tapi juga ada masyarakat non-Muslim, dan Ketuhanan Yang Maha Esa meskipun untuk Islam tetapi agama lain juga dapat menggunakannya.

Kehadiran Islam Nusantara menjadi penengah ketika terjadi konflik perbedaan keberagaman. Dengan polanya yang bersifat kultural membuat karakter yang lebih plural dan toleran. Indonesia memiliki lima agama yang diakui oleh negara, dan dalam agama Islam sendiri ada begitu banyak golongan atau organisasi masyarakat Islam. Islam Nusantara memberikan kedamaian karena Indonesia adalah Nusantara yang memiliki kultur toleran dan berdampingan ditengah perbedaan seperti dalam ideologi negara yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Peran strategis dalam demokratisasi adalah dengan memanfaatkan pesantren sebagai institusi pendidikan. Pemahaman yang terbuka dan tetap menjaga tradisi kuat, pesantren menjadi institusi yang efektif secara kultural. Dengan memberikan kesadaran demokrasi yang berlandaskan etika moral agama, diharapkan pesantren dapat melahirkan santri-santri  yang dapat mendorong perubahan di masyarakat serta tetap menjaga tegaknya Islam sesuai dengan norma dan budaya Indonesia yaitu damai, toleransi, dan menghargai perbedaan tanpa membuat konflik diantara umat beragama, dan memberikan kebebasan masyarakat untuk memeluk agama.

Shaldon S. Wolin (2008) mengatakan “To become a democrat is to change one’s self, to learn how to act collectively, as a demos. It requires that the individual go ‘public’ and thereby help to constitute a ‘public’ and ‘open’ politics. In principle accesible for all to take part in it, and visible so that all might see or learn about the deliberation and decision making accouring in public agencies and institution”.

Penulis Riana Puji Lestari
Editor Abdul Qodir Zaelani

About admin

Check Also

Dr. Efa Rodiah Nur, MH: Workshop Fakultas Syariah Lahirkan Dokumen Kurikulum OBE-MBKM

Bandar Lampung: Workshop Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung akan melahirkan dokumen kurikulum berbasis …