Beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi menerima kunjungan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Arab Saudi sebelum menghadiri pembukaan KTT G20 di Hanzhoung, Tiongkok. Salah satu yang jadi bahan pembincangan kedua negara adalah berkenaan dengan permintaan tambahan kuota haji oleh Indonesia selain investasi.
Ritual Peribadatan
Ibadah haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam, tak pelak setiap Muslim di seluruh dunia wabil khushush di Indonesia memiliki tekad yang kuat agar dapat berkunjung ke tanah suci. Walaupun hal itu hanya dilakukannya sekali seumur hidup.
Ibadah haji menjadi salah satu format ibadah istimewa yang melibatkan seluruh dimensi kehidupan manusia dalam pelaksanaannya. Tidak hanya dimensi material yang berkecukupan-ongkos naik haji yang lumayan banyak-melainkan juga mengharuskan pelakunya memiliki kesehatan fisik, mental dan keteguhan spiritual. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Allah Swt mengganjar orang yang melakukan ibadah haji dengan ampunan dan pahala yang berlipat ganda.
Tidak sedikit pula umat Islam yang berangkat ke Makkah untuk berhaji bercita-cita meninggal di sana, di tanah kelahiran Nabi Muhammad Saw. Hal ini semakin menampakkan ibadah haji yang ‘extraordinary’ mendapat tempatnya sendiri di hati para jamaah. Siapapun yang pernah datang ke sana juga selalu ingin kembali lagi.
Animo umat Muslim yang tinggi untuk pergi ke Makkah sayangnya tidak terakomodasi dengan baik. Hal itu tecermin pada daftar tunggu (waiting list) jamaah haji Indonesia yang kian tahun makin membengkak. Bahkan, waktu tunggu keberangkatan salah satu kabupaten di Sulawesi telah mencapai 32 tahun. Hal itu semakin diperparah dengan pengurangan kuota jamaah haji Indonesia sebanyak 20% dari jatah normal yang telah diterapkan selama tiga tahun yaitu dari tahun 2013 hingga 2015 dalam rangka perluasan Masjidil Haram.
Bisnis Biro Perjalanan Haji
Karena ibadah haji menjadi ritual yang selalu dikangeni oleh umat Islam, hampir di setiap sudut kota, mereka-para pelaku bisnis biro perjalanan haji-menjajakan berbagai macam kemudahan dan keistimewaan perjalanan haji demi memanjakan para jamaahnya.
Hal itu didukung dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat Muslim Indonesia yang melahirkan semakin banyak orang dengan kelas ekonomi menengah ke atas baru, yang secara matematis juga akan berdampak pada meningkatnya volume calon jamaah haji yang antri mendaftar.
Kalau sampai perundingan antara Jokowi dan kerajaan Arab Saudi berhasil, maka dapat dipastikan selain akan mengurangi antrian panjang calon jamaah haji yang akan berangkat ke tanah suci di berbagai provinsi di Indonesia-walau mungkin tidak terlalu signifikan karena jumlah umat Islam yang ingin berhaji terlampau banyak-juga akan membuat usaha/bisnis biro perjalanan haji semakin tumbuh dan berkembang.
Keputusan pemerintah untuk melakukan lobi penambahan kuota jamaah haji tentu akan membawa konsekuensi bagi jamaah haji Indonesia ke depan. Oleh sebab itu, dalam rangka melindungi kepentingan jamaah, setidaknya ada dua hal yang harus menjadi fokus koreksi dan evaluasi pemerintah. Pertama, masalah perizinan dan pengawasan usaha. Sepertinya bukan tahun ini saja pemerintah kecolongan dengan adanya bisnis bodong dengan iming-iming haji yang cepat tanpa harus menunggu lama. Kasus yang merugikan calon jamaah haji seolah sudah menjadi langganan. Kedua, mendesak kepada otoritas haji di Arab Saudi untuk dapat menjamin penuh keselamatan, kenyamanan, dan ketertiban jamaah haji. Hingga, sejarah pelaksanaan ibadah haji yang memakan korban tidak akan kembali terulang.
Penulis | Ahmad Syarifuddin |
Editor | Abdul Qodir Zaelani |