Bandar Lampung: Beberapa waktu lalu Menteri Agama mengeluarkan regulasi baru berkaitan dengan gelar akademik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 33/2016. Kehadiran PMA tersebut disambut baik kalangan sivitas akademia FSH IAIN Raden Intan Lampung. Aas Safitri salah satunya. Alumnus jurusan Muamalah FSH merasa senang sekali dengan adanya gelar baru yang diterbitkan Menteri Agama.
“Saya sangat senang sekali dengan adanya gelar baru untuk lulusan Fakultas Syariah dan Hukum. Dengan adanya gelar Sarjana Hukum bagi lulusan FSH tentunya akan memperluas dan mempermudah gerak untuk bisa berkiprah di berbagai instansi pemerintah. Karena selama ini, gelar Sarjana Hukum Islam masih di pandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Kesannya, Sarjana Hukum Islam hanya mendalami persoalan hukum Islam an sich, padahal di bangku kuliah, kami diajarkan mata kuliah umum seperti hukum perdata, hukum pidana, HTN, hukum pajak, dan materi hukum konvensional lainnya. Apalagi sekarang saya sedang menempun S2, dengan adanya gelar Magister Hukum untuk lulusan jurusan hukum ekonomi Islam, saya lebih senang lagi. Jadi, nama saya nanti kalau sudah lulus Aas Safitri, S.H.I., M.H.’, ujar Aas Safitri diselingi tawa renyahnya yang khas.
Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A., dosen FSH sekaligus pengelola jurnal al-‘Adalah: Jurnal Hukum Islam yang telah terakreditasi Kemenristek Dikti, merasa bersyukur diterbitkannya gelar baru bagi lulusan fakultas syariah dan hukum. Menurutnya dengan adanya gelar baru tersebut akan mempermudah ruang gerak alumni sekaligus lebih universal dalam penyebutan gelarnya.
“Saya sangat setuju dengan gelar baru untuk lulusan Fakultas Syariah dan Hukum. Dengan adanya gelar Sarjana Hukum akan lebih mudah untuk mencari pekerjaaan di berbagai lini dan instansi. Karena saya pernah mengalami mencari kerja dengan gelar SHI dengan jurusan al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Ketika saya diwawancara, pasti semua pewawancara dari personalia dan HRD bertanya, al-Ahwal al-Syakhsiyyah itu apa ya? Begitupun ketika melamar CPNSD ketika ada formasi Sarjana Hukum, berkas administrasi saya ditolak dengan alasan bukan Sarjana Hukum. Ini kan tampaknya diskriminatif”, ujar Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A.
“Karena itu, saya sangat setuju dengan gelar Sarjana Hukum yang bersifat universal, bisa masuk ke semua sektor pekerjaan. Tidak ada lagi pembeda. Termasuk untuk jurusan al-Ahwal al-Syakhsiyyah, kalau bisa diganti dengan bahasa yang lebih universal dan “membumi”, seperti hukum perdata”, pungkasnya. (Siti Zubaidah/Rudi Santoso)