Pudarnya Wibawa Hukum

za

Beberapa tahun lalu, kita dihebohkan dengan dua berita yang sangat kontras, baik di media massa maupun elektronik. Kejadian pertama adalah meninggalnya beberapa orang secara tragis di Sumatera Utara. Mereka dibakar oleh warga karena diduga mencuri sapi warga. Yang kedua adalah, divonisnya seorang hakim yang terbukti tertangkap tangan menerima suap sebesar Rp 250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonisnya empat tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis Hakim juga memutuskan untuk mengembalikan seluruh mata uang  asing yang disita saat penangkapan dan penggeledahan, yang diperkirakan jumlahnya senilai Rp 2,5 miliar.

Dua kejadian ini sangat menyayat hati. Betapa keadilan tidak berpihak pada rakyat kecil. Baru diduga mencuri saja, sudah dihakimi massa, bahkan jika diputus oleh pengadilan, hukumannya berat. Sementara mereka yang mempunyai jabatan dan berkantong tebal, bisa berlenggang bebas bahkan hukumannya pun tidak sebanding dengan pencuri kambing atau ayam.

Pembunuhan, penganiyaan dan pembakaran pelaku kriminal, menyiratkan betapa mudahnya amarah masyarakat untuk menghakimi pelaku kriminal. Pengadilan jalanan seakan menjadi jalan keluar dari ketidakberdayaan aparat Negara dalam memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Gejala main hakim sendiri yang terjadi di masyarakat, mengindikasikan kekecewaan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap kinerja penegak hukum. Pepatah “fiat justicia ruat coelum” yang berarti “keadilan tetap ditegakkan meskipun langit runtuh” seakan hilang dan luntur dalam institusi penegak hukum.

Tiga pendekar hukum atau the three musketers yakni polisi, hakim dan jaksa dengan tugas yang berbeda-beda namun bermuara terhadap terciptanya hukum yang adil, tertib dan bermanfaat bagi semua manusia. Namun nyatanya, terkadang memperlihatkan wajah yang lain. Hal ini disebabkan karena oknum-oknum yang bermain di dalamnya tidak lagi memakai hati nurani.

Kualitas persidangan dan putusan hakim serta pemeriksaan perkara-perkara secara besar menjadi isu nasional yang tak kunjung selesai serta lambannya polisi dalam menyelesaikan kejahatan yang melibatkan kaum berdasi (white colour crime). Budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih jauh dari disiplin, apalagi yang dipertontonkan oleh penguasa dan penyelenggara Negara yang terlibat dalam perkara korupsi. Merupakan Indikator lunturnya wibawa hukum.

Perkara korupsi yang dipertonton oleh para pejabat Negara akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa hukum seakan dapat dipermainkan. Putusan bebas dan ringan terhadap para koruptor terutama terkait hakim yang menerima  suap, menurut Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Urip Tri Gunawan, putusan hakim tersebut tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, apalagi yang terdakwa adalah penegak hukum. Ini adalah kenyataan yang ironi dan tragis. Sejatinya tokoh-tokoh yang mempunyai strata sosial dan struktur formal sebagai kelompok panutan, teladan dan acuan moral masyarakat, ketika melanggar aturan hukum mestinya mendapat ganjaran yang lebih berat. Namun nyatanya,  justeru lebih ringan, bahkan sangat ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum.

Berdasarkan catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), selama tahun 2011 pelaku korupsi banyak yang berlatar belakang berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD dengan jumlah 99 orang. ICW pun menilai, banyaknya terdakwa korupsi yang divonis bebas selama 2011 menandakan Mahkamah Agung (MA) memang diragukan dalam hal pemberantasan korupsi. Menurut data ICW, sudah ada 45 terdakwa koruptor saat ini yang divonis bebas di Pengadilan Tipikor.

Bahkan, Wakil Koordinator ICW, Emerson Yunto, CW memprediksi pada tahun ini akan lebih banyak terdakwa korupsi yang dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor. Karena itu dia menyatakan, ICW akan terus mengawal dan menelusuri rekam jejak para hakim Tipikor baik karier maupun non karier. Selama 2011, MA telah menerima 956 perkara korupsi. Dari jumlah itu ada 388 perkara yang telah diputus. Sementara dari perkara yang telah diputus tersebut, sebanyak 40 perkara yang membebaskan terdakwa korupsi di tingkat kasasi atau setara dengan 10,31 persen.

Memutus Mata Rantai Korupsi

Di bangsa tercinta ini, pemberantasan terhadap tindakan korupsi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu langkah yang radikal untuk dapat memutus rantai dan mengurai benang kusut serta membabat belantara korupsi. Kebijakan radikal bisa dilakukan dengan cara memutus secepatnya dengan kasus-kasus korupsi peninggalan masa lalu, seperti kasus Bank Century dan lainnya. Bila tidak diputus, maka perjalanan memberantas korupsi stagnan, tidak ada kemajuan. Ada dua kebijakan radikal (radical departure) yang bisa diambil. Sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Mahfud MD (Hukum Tak Kunjung Tegak, 2007). Pertama, kebijakan lustrasi nasional atau amputasi terhadap pejabat-pejabat, yakni memberhentikan sebuah undang-undang semua pejabat dan aparat penegak hukum yang pernah terlibat kasus hukum, dan telah menduduki jabatan, pangkat dan umur tertentu. Setelah itu diangkat pejabat baru yang bersih dan berani untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi secepatnya. Di sebagian kawasan Amerika Latin, kebijakan lustrasi itu berhasil menurunkan indeks korupsi secara signifikan.

Kedua, kebijakan pengampunan atau pemutihan. Ini dipilih jika kebijakan lustrasi nasional tidak bisa dilakukan, misalnya, karena hambatan atau penolakan dari internal pemerintah yang begitu kuat. Dengan kebijakan itu, semua kasus korupsi peninggalan masa lalu diampuni sehingga tidak lagi perlu proses hukum. Sudah barang tentu, pengampunan ini disertai syarat-syarat tertentu, termasuk kemungkinan pengembalian kekayaan Negara tanpa dipersoalkan lagi aspek pidananya. Yang paling penting setelah hari pengampunan itu, setiap tindak pidana korupsi diproses secara cepat dengan ancaman hukuman yang berat, termasuk hukuman mati di depan publik.

Menurut Mahfud MD, seperti yang dilakukan di Cina, misalnya, yang pada beberapa tahun terakhir telah menghukum mati atau memenjarakan ribuan pejabat karena korupsi, ternyata efektif menurunkan angka korupsi sampai ke indeks yang jauh lebih kecil dari pada sebelum tahun 1998. Bila kebijakan radikal ini bisa dilaksanakan, maka bangsa Indonesia ini terbebas dari korupsi, rasa keadilan benar-benar terasa bagi rakyat Indonesia. Sehingga pepatah “tasharruful imam alarra’iyyah manutun bil mashlahah” yang berarti “tindakan seorang pemimpin yang terkait dengan pengikut-pengikutnya, haruslah langsung terkait dengan kesejahteraan rakyat” dapat terwujud. Semoga.

Penulis Abdul Qodir Zaelani, MA

(Akademisi Fakultas Syari’ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung)

Editor Rudi Santoso

About admin

Check Also

Cegah Radikalisme, UKM-F LDC Fakultas Syariah Gelar Seminar Kebangsaan

Bandar Lampung: Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Syariah (UKM-F) Law Debate Community (LDC) Sukses menggelar Kegiatan …

One comment

  1. MA, Kepolisian, Kejaksaan dan DPR/D (Yudikatif, Eksekutif dn Legislatif) jdi Sarang Koruptor Semua …