Pembiayaan pada Bank Syari’ah Lebih Mahal: Syar’i kah?

buku sya

Lebih dari dua dekade eksistensi bank syari’ah berada di Indonesia. Jika dihitung dari lahirnya bank Muamalat  1 November 1991 maka umurnya sudah mendekati 25 tahun. Sejatinya pada umur ini, kematangan dan capaian telah banyak diraih. Namun nyatanya, jauh api dari panggang.

Berdasarkan perkembangannya, bank syari’ah di Indonesia tidak mampu menggapai angka 5% dari pangsa pasar (market share) industri keuangan perbankan secara nasional. Ketua Direktur Perbankan syari’ah OJK Dhani Gunawan Idhat pernah menyatakan setidaknya terdapat tujuh hambatan bank syari’ah, salah satunya ialah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap bank syari’ah (detik.com).

Kurangnya pemahaman masyarakat diwujudkan dalam bentuk ketidakyakinan mereka terhadap kesyari’ahan bank syari’ah itu sendiri. Hal itu terjadi lantaran nasabah yang mengajukan pembiayaan di bank syari’ah harus mengembalikan uang lebih banyak daripada pinjaman yang dilakukan di bank konvensional. Lalu benarkan bank syari’ah menjadi tidak syar’i karena mengambil keuntungan berlipat?.

Wajib dipahami bahwa hubungan antara bank konvensional dan nasabah adalah hubungan  kreditor dan debitor sehingga jika digambarkan merupakan relasi yang bersifat vertikal dengan posisi bank di atas. Hubungan tersebut  timbul akibat perjanjian utang-piutang. Sehingga nasabah akan menerima berapa pun besaran bunga yang ditetapkan oleh bank terlepas kegiatan usaha yang dibiayainya itu untung atau rugi.

Sedangkan hubungan yang terjadi antara bank syari’ah dan nasabah adalah hubungan kemitraan dengan posisi horizontal atau pola hubungan yang setara. Sehingga bank dan nasabah dimungkinkan untuk menentukan besaran bagian keuntungan yang bisa atau nyaris sama presentasenya dalam usaha tertentu. Seperti halnya hubungan kerjasama Muhammad Saw dan Siti Khadijah dalam kongsi dagang, mereka bisa saling berembug dan menentukan besaran 20%, 30% atau 50% dari keuntungan.

Selain itu, jika merujuk pada literatur fikih ada beberapa hal yang membuat suatu usaha tidak syar’i yaitu maisir (spekulasi), gharar (ketidakjelasan), riba (diperoleh dengan cara batil) dan haram (dilarang oleh nas). Dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan keuntungan. Sehingga keuntungan berapapun akan tetap dibenarkan selama tidak merusak harga pasar dan tidak menurunkan daya beli masyarakat. Dengan demikian, jika sebuah bank dalam menjalankan fungsinya yaitu menghimpun dana (funding) dan menyalurkan dana (lending) terhindar dari satu atau keseluruhan unsur di atas, tetap dinyatakan sesuai dengan syari’ah.

Penulis Ahmad Syarifudin
Editor Abdul Qodir Zaelani

About admin

Check Also

Respon Kebutuhan Dunia Kerja, Fakultas Syariah Gelar Workshop Kurikulum OBE dan MBKM

Bandar Lampung: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung menyelenggarakan workshop penyusunan kurikulum berbasis …

2 comments

  1. Tanya Ustz .. Ukuran syar’i dan tidaknya apa ? mahal dan murahnya atau akadnya ?