Just Call Me, Reina !

2016_1023_14030100

Just Call Me, Reina !

Oleh : Siti Zubaidah / Mahasiswi Mu’amalah

Ada mata yang masih enggan untuk terlelap. Pikiran yang masih belum jelas ujungnya mau kemana. Kata hati yang tiada henti bersahut-sahutan menawarkan sebuah pilihan. Aku, menatap kosong langit-langit kamar. Membiarkan buku-buku berserakan di atas kasur. Aku sudah lelah membacanya.

Seminggu terakhir kegiatanku selalu sama. Menghabiskan malam-malam dengan belajar keras. Dan nyaris selalu meluangkan waktu sepertiga malam untuk mengadukan keluh kesah tentang sebuah harapan. Berharap akan segera diberikan jawaban untuk kesuksesan masa depan.

Hari itu, selepas Ujian Nasional berlangsung. Miss Caroline—guru bahasa Inggrisku sedang duduk di pelataran musholla sekolah. Nampak seperti sedang membaca sesuatu. Aku mendekatinya.

“Assalamu’alaikum Miss, may I  sit down here ?” begitulah siswa serta guru-guru disini. Setiap berjumpa dengan seseorang baik teman sebaya sampai guru harus membudayakan 3S: Senyum Sapa Salam.

“Wa’alaikumsalam, of course you may”. Jawabnya dengan senyuman sambil mempersilahkanku untuk duduk di sisinya.

“you look unhappy. Why ? Do you feel worried you can’t get good grades in this National Exams ? or maybe you feel afraid, you can’t make your graduation day ?” tanya Miss Caaroline dengan penuh tanda tanya.

“I am confused.” Jawabku datar.

  • ●●

Terhitung 100 hari sebelum Ujian Nasional digelar.

Milna, sahabatku. Ia menanyakan sesuatu yang membuatku terdiam seketika. Kamu jadi daftar kuliah dimana ? pertanyaan yang masih saja belum bisa kujawab. Karena jawaban hari ini mungkin akan berbeda dengan jawaban hari esok atau bahkan lusa. Setiap hari selalu menawarkan pilihannya. Saat kumulai yakin dengan satu pilihan, saat itulah aku harus melepasnya perlahan. Membuang jauh-jauh keyakinan yang pernah ada.

Aku, yang selalu akrab dengan majalah bahasa Inggris sejak aku kecil. Tentu tau faktor “ex” apa yang aku miliki. Aku, yang selalu terbiasa bersahabat dengan buku diary. Tentu tau passionku itu dimana. Ya, aku memiliki impian besar untuk masa depanku kelak. Sudah terpampang jelas impian itu di dinding kamar, atas meja belajar. I want to write my own English novel.

Itu artinya aku harus melinierkan studi yang nantinya akan aku ambil selepas lulus. Jurusan Sastra Inggris akan menjadi pilihan yang tepat. Dan, Miss Caroline menyarankanku untuk melanjutkan studiku di Universitas Negeri Malang. Karena ia pun seorang alumni di Universitas tersebut. Malang; kota pendidikan yang banyak melahirkan orang-orang besar. Kota yang penuh dengan kesejukan dan keindahan. Air terjunnya, kebun buahnya, wahana bermainnya, semuanya mengagumkan. Ia pun tak terlalu jauh dari kampung halamanku berkat jembatan Suramadu. Sekitar 129 km. Namun itu artinya, aku harus menyewa kamar kos. Tidak bisa untuk pulang-pergi. Hal inilah yang membuat ayah dan ibuku khawatir. Karena dari kecil aku selalu bersama dengan keluarga. Tak rela membiarkan anaknya hidup di kota orang sendiri. Hingga akhirnya mematahkan impian-impian yang sudah kurajut nyaris sempurna. Aku tau itu bentuk kasih sayang mereka. Tapi andai mereka tau, hati ini sakit.

Om Zainal, kakak sulung Ibuku. Memberikan pilihannya padaku. Ia menawarkanku untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang. Universitas yang berbasis pesantren. Orang tuaku setuju akan hal ini. Om Zainal menyarankanku untuk mengambil D3 Kebidanan. Tak masalah bagiku meski tak sesuai dengan keinginan awal yakni Sastra Inggris. Yang pasti, dalam buku diary yang aku miliki saat berusia 7 tahun, cita-cita yang tertera dalam biodataku adalah menjadi seorang bidan. Dan aku mulai membayangkan saat suatu waktu aku memeriksa kesehatan keluargaku secara gratis. Namun bayanganku tiba-tiba buyar saat mataku tertuju pada tulisan kecil berwarna kuning. Khusus calon mahasiswa jurusan Ilmu kesehatan, tinggi badan maksimal 150 cm (putri).

Aku terhenyak membacanya. Karena tinggi badanku hanya 149 cm. Nyaris sekali. 1 cm yang tak bisa berbuat apa-apa selain mencari pilihan lain. Dan pilihan terakhir adalah orang tuaku. Sebenarnya aku tak rela meninggalkan pulau garam ini dan kembali ke kota Kain Tapis. Kota yang dahulu menghiasi masa kecilku. Kota dimana orang tuaku meraih kesuksesannya disana. Dan yang aku inginkan adalah meraih kesuksesanku sendiri.

Aku ingin membuktikan kepada keluargaku, bahwa aku bisa hidup sendiri. Aku ingin seperti mahasiswa pada umumnya. Mandiri. Tinggal di kosan, masak sendiri, pulang sebulan sekali dan terlebih, membuktikan kesuksesanku sendiri. Namun, orang tua terlampau khawatir dengan hal itu.

Apa boleh dikata. Yang kulakukan hanya belajar keras dan selalu meluangkan waktu di sepertiga malam untuk mengadukan segala keluh kesah dan kebimbangan hati pada Dia Sang Pemberi Skenario terbaik. Berharap aku bisa lulus Ujian Nasional dengan nilai yang terbaik dan diberikan kemantapan hati untuk memilih pilihan yang terbaik.

  • ●●

Miss caroline memasang wajah penuh dengan tanda tanya. Mendengar jawaban datarku.

Akhirnya aku meluapkan seluruh kebimbangan hati padanya yang terhitung sejak 100 hari sebelum Ujian Nasional digelar, hingga kini saat aku telah menyelasaikannya. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan.

“I don’t know Miss. Everytime i pray, i always remember my parents. It seems that, their choice is the best for me. And I will follow them.” Ungkapku parau.

“I’m confident you’ve made the right choice. It’s a sign from God to you that the best for you, indeed”. Ujar Miss Caroline dengan nada yang sangat yakin.

Ijazah kelulusan sudah berada di tangan. Dan aku, masih bisa mempertahankan predikat siswa terbaik di sekolah. Segala hadiah yang teman-teman serta guruku berikan membuatku sangat bersyukur. Aku tersenyum tanpa beban pun kebingungan. Tekadku sudah bulat, melanjutkan pendidikan di kota yang akan menyambutku dengan sigernya yang indah di dermaga. Meskipun sepertinya aku kehilangan separuh semangat. Tapi tak apa. Percakapan singkatku dengan Miss Caroline membuatku yakin atas pilihan orang tuaku.

Tak ada lagi Sastra Inggris, melainkan Pendidikan Bahasa Inggris. Dan aku menolaknya. Hukum Ekonomi Syari’ah. Dan lagi, itu pilihan orang tuaku. Tak ada lagi UNM, UNIPDU melainkan UIN Lampung. Kampus yang begitu bersih, hijau, dan luasnya yang mencapai 460. 465 m2.

Kunikmati hari-hari di kampus hijau ini. Tak ada rasa sesal pun keterpaksaan. Meskipun jalan yang sudah kutempuh ini sepenuhnya pilihan orang tua. Tapi bukankah ini juga pilihanku ? memilih apa yang sudah dipilih.

Sesekali saat jam kuliah usai, aku duduk di pinggiran embung (baca: danau). Ditemani kopi robusta hangat dan buku diary beserta penanya. Sempurna indahnya. kampusku ini selalu padat dengan pengunjung. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa namun banyak keluarga yang datang kesini. Sekedar jogging atau menikmati keindahan kampus hijau ini. Embung nampak seperti objek wisata bagi masyarakat. Karena keindahannya yang tiada tara.

Mulai kutulis segala imajinasi di buku diary dan pastinya menggunakan bahasa Inggris. Hal tersebut menjadi hobi yang tak pernah aku lewatkan. Meskipun pilihan hidupku tak sejalan dengan apa yang aku inginkan, aku tak boleh meninggalkan passion yang aku miliki.

Hari-hari nampak sama. Aktifitas yang kulakukan saat jam kuliah usai pun masih sama. Namun yang berbeda adalah imajinasi. Setiap hari menawarkan inspirasi yang baru saat aku mulai menatap lamat-lamat embung di depan mata yang kemudian disambut meriah oleh ikan-ikan di dalamnya. Aku suka hal itu. Angin berdesir menggoyangkan dedaunan di pinggiran embung ini bak seperti tarian selamat datang.

Namun beberapa menit kemudian, suasana menjadi berubah. Ikan-ikan menyelinap masuk ke dasar laut. Angin yang tadinya hanya berdesir mesra kini berhembus kencang. Awan menghitam. Kuyakin, hitungan beberapa detik lagi hujan mengguyur kampus hijau ini. Aku buru-buru berdiri dan memasukkan segalanya ke dalam tas. Hingga tanpa tersadar ada sesuatu yang tertinggal. Bersyukur langsung kudapati angkot di halte kampus. Dan, aku pulang dengan pakaian setengah basah.

  • ●●

Terhitung 48 hari semenjak aku kehujanan di pinggiran embung.

Aku merubah media pemuas hobi menulisku. Bukan lagi di buku diary. Melainkan blog pribadi. Karena buku diaryku telah hilang. Benar firasatku kala itu, saat aku memasukkan semuanya ke dalam tas. Ada sesuatu yang tertinggal. Dan sempurna, itu buku diaryku. Aku menangis semalaman. Karena saat aku kembali jam 7 malam ditemani ayahku, tak ada apapun di pinggiran embung. Semuanya bersih. Ayahku bertanya pada satpam yang menjaga kampus, tapi nihil. Ia tak menemukan apa-apa.

Sampai pada akhirnya, aku menulis semuanya dari awal. Blog. Karena banyak orang yang suka, maka aku terus memproduksi tulisan-tulisan baru bukan hanya dalam bahasa Inggris, namun juga bahasa Indonesia. Banyak orang yang membagikan tulisanku tersebut ke akun media sosialnya. Bukan hanya itu, wajahku sudah banyak terpampang di berbagai media cetak. Aku sangat bersyukur akan hal itu. Yang dahulunya hanya berani menuliskan cerita, kisah, puisi serta sajak di dalam buku diary. Menjadi konsumsi sendiri. Kini, selalu menyajikan karya terbaik untuk konsumsi publik.

Aku tak percaya dengan semua ini. Bukan karena aku mulai berani menuliskannya secara publik. Bukan. Bukan juga karena karyaku disukai banyak orang hingga sering masuk media cetak. Bukan. Atau karena aku sering mendapatkan fee bulanan karena rajin mengirimkan tulisan ke Koran langganan atau hadiah pemenang lomba menulis. Bukan. Sekali lagi bukan.

Aku, seorang yang telah memendam impiannnya dalam-dalam untuk kuliah Sastra Inggris. Aku, yang bercita-cita besar ingin memiliki novel berbahasa Inggris atas karyaku sendiri. Kini, dihubungi oleh penerbit ternama, ingin membukukan semua karyaku menjadi sebuah novel dan menerbitkannya.

.Aku tak percaya dengan semua ini. Tubuhku terasa kaku. Mataku meneteskan bulir-bulir mutiara. Kusimpuhkan kepalaku ke sajadah panjang. Kubersujud dengan penuh syahdu. Menangis sejadinya. Bersyukur atas segala nikmat serta rahmat. Memohon ampun atas segala keraguan yang dulu sempat menggoyahkan hati karena pilihan orang tua yang tak senada dengan hati. Kini ku sempurna percaya, bahwa Ridhallahu fii ridho walidain, ridho Allah beserta ridho orang tua. kukecup tangan ayah dan ibu. Melihat kedua mata mereka berlinang bangga. Kuyakin tak akan pernah ada orang tua yang menyesatkan jalan hidup anaknya.

Namaku Reina, makhluk dengan sejuta impiannya.

  • ●●

Jam 07.03 jantungku berdegup kencang. Seluruh orang di depanku menatapku tidak sabaran. Ingin mendengar kata pertama yang keluar dari mulutku. Ruangan ini hampir padat. Mungkin sekitar ratusan orang. Hampir separuh dari mereka memegang buku yang sama denganku. Kuucapkan dalam hati. Robbisrohliy sodriy wa yassirliy amriy wahlul ‘uqdatan min lisaaniy yafqohuu qowliy..

@Faculty of Arts, The University of Western Australia, 19th March 2020

Dalam acara Bedah Buku Reina berjudul “Just Call Me, Reina!”

  • ●●

About admin

Check Also

Respon Kebutuhan Dunia Kerja, Fakultas Syariah Gelar Workshop Kurikulum OBE dan MBKM

Bandar Lampung: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung menyelenggarakan workshop penyusunan kurikulum berbasis …