Transformasi Menuju UIN

AbdulAbdul Qodir Zaelani, M.A
Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum

IAIN Raden Intan Lampung

IAIN Raden Intan menjadi UIN kini bukan lagi sekedar impian dan wacana. Beberapa waktu lalu, IAIN Raden Intan dinyatakan lolos menjadi UIN dengan memperoleh nilai tertinggi (300 poin) dibanding IAIN Mataram (295 poin) dan IAIN Imam Bonjol (252 poin). Walaupun masih ada catatan dalam proses tranformasinya, yaitu harus terpenuhinya tiga elemen penting; melengkapi jumlah alumni dan rasio antara dosen dan mahasiswa serta menunjukkan aset dan sarana prasarana yang dimiliki.

Alasan Filosofis
Adanya transformasinya IAIN menuju UIN bukan tanpa sebab. Ada banyak alasan filosofis kenapa kemudian IAIN bertransformasi menuju UIN. Setidaknya bila direnungkan, ada beberapa hal. Pertama, adanya tongkat estafet jiwa visioner yang dimiliki oleh jajaran pimpinan dan seluruh sivitas akademika di lingkungan IAIN. Hal ini dibuktikan telah banyaknya keberhasilan yang diraih IAIN dalam upaya mewujudkan kualitas akademis di lingkungannya.

Sebagai tanda keberhasilannya adalah telah dibukanya tiga program studi doktoral dalam beberapa tahun terakhir, yakni Hukum Keluarga, Manajemen Pendidikan Islam, dan Pengembangan Masyarakat Islam. Selain itu, pada tahun ini, tepatnya Februari, salah satu jurnal fakultas di lingkungan IAIN, jurnal Al-‘Adalah: Jurnal hukum Islam telah terakreditasi Dikti, mengikuti jejak jurnal Analisis yang sebelumnya telah terakreditasi.

Kedua, secara teritorial dan geografis, kawasan IAIN tidak jauh dari pusat kota dan dapat dilewati jalur transportasi, dekat dengan perumahan penduduk, dekat pula dengan kawasan pengembangan kota baru dan kampus baru Itera (Institut Teknologi Sumatera). Selain itu, luas wilayah IAIN seluas 25 hektare sangat representatif untuk proses belajar-mengajar. Dengan wilayah yang cukup luas tersebut, beberapa fakultas dan fasilitas akademis dapat dibangun di atasnya.

Ketiga, alasan filosofis sosio-antropologis. Sebagai institusi pendidikan, eksistensi IAIN dapat membantu pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa. IAIN bisa menjadi salah satu syaitoroh atau menara peradaban dalam upaya membangun masyarakat yang tamaddun (masyarakat madani/civil society) di kawasan Lampung. Karena secara teoritis, semakin banyak yang berpendidikan tinggi, akan semakin tinggi sebuah peradaban. Selain itu, nilai-nilai humanisme akan semakin kentara jika IAIN bertransformasi menjadi UIN; akan banyak menyerap sumber daya manusia dan meningkatkan perekonomian.

Metafora Integrasi
Dalam upaya mewujudkan IAIN menjadi UIN tentu ada banyak tantangan dan kendalanya, salah satunya adalah menjembatani dikotomi pengetahuan umum dan Islam. Hal ini didasarkan dari sejarah perjalanan panjang pendirian UIN di beberapa tempat. Ada semacam skeptisisme di kalangan akademis. Salah satunya adalah dengan dibukanya fakultas umum, jangan-jangan fakultas agama akan termarginalkan. Maka wacana “menasionalisasikan Islam” dalam dunia akademik perlu menjadi perhatian.
Persoalan dikotomi pada dasarnya bukan berasal dari dunia muslim. Pasalnya, dalam peradaban Islam kita mengenal Aviecena (Ibnu Sina) sebagai ahli pengobatan, Averus (Ibnu Rusyd) sebagai ahli filsafat, Ibnu Qudamah sebagai ahli sosiologi, dan beberapa tokoh muslim yang menguasai pengetahuan umum. Munculnya persoalan dikotomik ini sebenarnya disebabkan pengaruh peradaban Barat yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam perspektif Barat, ilmu pengetahuan itu bersifat objektif ilmiah, sedangkan ilmu agama bersifat subjek dogmatik.

Untuk menjembatani dikotomi-atomistik tersebut, maka diperlukan pemahaman yang mendalam dan mendasar melalui metafora integrasi keilmuan. Metafora integrasi telah banyak “dikumandangkan” oleh beberapa IAIN yang bertransformasi menjadi UIN. UIN Maliki Malang, misalnya, memiliki metafora pohon ilmu. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membuat gambar jaring laba-laba dan UIN Sunan Gunung Jati Bandung dengan gambar roda. Spirit metafora integrasi tersebut pada dasarnya sama, yakni ingin menjelaskan keterkaitan antara ajaran Islam dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Bagaimana metafora integrasi IAIN Raden Intan Lampung? Kalau boleh berkontribusi, metafora integrasi IAIN Raden Intan mungkin bisa melalui gambar kincir angin. Filosofis kincir angin bisa dilukiskan; batangnya yang tertanam ke dalam tanah adalah sumber ilmunya, yakni Alquran dan Hadis, sementara kincir-kincirnya adalah rumpun ilmunya. Ketika kincir-kincirnya berputar kencang, maka di sanalah rumpun ilmunya semakin berkembang seiring perkembangan sub-sub rumpun ilmu Demikian sedikit hal berkaitan dengan transformasi IAIN menuju UIN. Semoga bermanfaat. Wallaualam bissawab.

Sumber :Lampost (http://lampost.co/berita/transformasi-menuju-uin)

About admin

Check Also

Respon Kebutuhan Dunia Kerja, Fakultas Syariah Gelar Workshop Kurikulum OBE dan MBKM

Bandar Lampung: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung menyelenggarakan workshop penyusunan kurikulum berbasis …